Author : Park Jihoon
Genre : Romance
Lenght : OneShot
Cast : Choi Minho, Lee Hyora
NB : This FF Just For Fai, Thanks To Call Me As Appa (hahahaha… kapan brojolnya???), Fai… Seng Il Chukkae….
Lee Hyora POV
Aku duduk di balkon, memandang langit sore yang sedang merintihkan tetes-tetes gerimis hujan. Suaranya terdengar begitu lembut tak memekakan telinga. Cahaya matahari sore yang menembus awan membuat seluruh isi dunia terlihat berwarna jingga. Sungguh,panorama sore yang begitu indah.
Di lapangan seberang jalan, ada sekumpulan anak kecil yang sedang asik bermian bola di bawah siraman gerimis hujan. Mereka terlihat basah kuyup dan berlumuran lumpur. Sesekali senyuman dan tawa terlukis di wajah mereka, meskipun aku lihat mereka tidak jarang terjatuh karena tanah yang licin.
“Pernah kah aku bermain dan merasakan kebahagian seperti mereka?” tanyaku pada diriku sendiri. Tapi tidak ada bayangan sedikitpun tentang masa kecilku yang terlintas di dalam kepalaku. Bahkan kejadian hari kemaren saja aku tak bisa mengingatnya. Jika aku paksakan untuk mengingatnya, yang ada hanya rasa nyeri yang tak tertahankan.
Yah, aku mengidap penyakit Alzheimer atau dengan kata lainnya penyakit pikun yang disebabkan karena matinya sel-sel otak. Meskipun penelitian dunia menyatakan bahwa Alzheimer hanya di derita oleh orang yang berusia tiga puluh lima tahu ke atas atau orang lanjut usia, tapi tidak pada posisiku. Aku menderita penyakit ini di usia tujuh belas tahun. Menurut umma, aku mendapatkan penyakit ini setelah mengalami kecelakaan. Namun umma tidak mau menceritakan detailnya kecelakaan itu. Ah, mungkin itu juga akan sia-sia karena keesokan harinya aku pasti akan melupakannya.
Sekarang aku hanya mampu mengingat kejadian satu hari saja, aku tidak mampu mengingat semua kejadian yang terjadi pada hari sebelumnya. Menurut perkiraan dokter hal ini kemungkinan akan berlangsung hingga aku berusia empat puluh tahun. Setelah itu, mungkin aku tidak akan mampu lagi mengingat kejadian satu jam sebelumnya atau bahkan satu menit sebelumnya.
Karena penyakit ini, aku harus melepaskan sekolah dan masa remajaku. Bagaimana mungkin aku melanjutkan sekolah, nama diri sendiri, nama orang tua bahkan nama teman-teman aku tidak mampu untuk mengingatnya. Apalagi harus ditambah dengan mengingat pelajaran. Untunglah umma membatuku untuk bisa mengingat semua anggota keluarga dengan manaruh foto mereka di meja dekat tempat tidurku.
Kembali aku lepaskan angan-anganku jauh membumbung ke angkasa menerobos setiap butir gerimis. Udara dingin menyentuh sebagian lengan yang kubiarkan terbuka, hal itu membuat kulitku terasa segar kembali. Aku seperti menemukan semangat untuk terus hidup.
Kemudian pandanganku tertuju pada sebuah foto yang aku genggam dari tadi. Di dalam foto itu terlihat seorang namja yang sedang tersenyum memamerkan giginya yang putih bersih, senyumannya begitu berkarismatik. Di dalam foto tersebut juga tertulis sebuah kalimat “Choi Minho My Love.” Aku yakin kalo yang ada di dalam foto tersebut adalah namjachingu ku. Entahlah, dengan melihatnya saja aku sangat yakin, karena hatikulah yang mengatakannya. Tapi sayang foto itu kini telah robek.
“Kenapa foto ini robek?” Pertanyaan yang selalu berputar-putar di kepalaku, namun aku tak bisa menemukan jawabannya.
“Sayang, kenapa duduk di luar. Udara disini sangat dingin.” Kata Umma yang tidak aku sadari kedatangannya. “Ayo kita masuk!”
“Aku masih ingin di sini umma. Aku ingin menikmati semua keindahan ini.” Kataku dengan sedikit merentangkan tangan. “Karena besok…, aku tidak akan mungkin mengingat semua keindahan ini.”
Ummaku sangat mengerti apa yang aku inginkan, sehingga tidak lagi berusaha membujukku untuk masuk. Umma adalah sosok yang selalu ada untukku, kapanpun aku membutuhkannya. Namun hal itu membuatku sangat sedih. Karena aku, dia selalu dilanda kesedihan.
“Umma…?”
“Ne…”
“Apa minho Oppa kemaren datang kesini? Terus… kenapa foto Minho Oppa ini robek ya?”
Umma sedikit terperanjat mendegar pertanyaanku. Wajahnya terlihat bingung mencari sebuah jawaban yang tak aku mengerti.
“Minho…, kemaren datang ke sini kok. Kemaren umma lihat kalian sedang membicarakan sesuatu. Kalau masalah foto itu umma kurang tahu. Mungkin kamu lupa menyobeknya secara tidak sengaja.” Jawab umma. Suaranya terdengar seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin aku ketahui.
“Jinjja…???”
“Ne…” Meskipun suara umma terdengar begitu meyakinkan, namun aku tahu ada sesuatu yang disembunyikan umma dariku. Bagaimana mungkin aku menyobek foto orang yang begitu aku cintai.
Flasback
Author POV
Di ruang tamu minho terlihat begitu serius berbicara dengan Lee ahjjuma, ummanya Lee Hyora. Minho menceritakan sesuatu diiringi dengan tetesan air matanya yang tak sanggup ia tahan. Raut muka minho terlihat tertekan dan penuh penyesalan. Sesekali dia mengutuk dirinya sendiri karena ketidak berdayaannya.
“Ahjjuma… ku mohon, aku nggak bisa mengatakan hal ini secara langsung pada Hyora. Aku nggak akan sanggup, karena aku masih mencintainya.”
“Minho-ah, Ahjjuma nggak berhak untuk ikut campur dalam urusan kalian berdua. Kalian harus bisa menyelesaikan masalah kalian sendiri, kalian kan bukan anak kecil lagi. Aku mengerti perasaanmu dan perasaan ummamu. Ummamu pasti menginginkan yang terbaik buat mu.” Kata Lee ahjjuma dengan penuh kebijaksanaan.
Minho hanya tertunduk semakin dalam mendengar ucapan Lee ahjjuma. Memang benar, Minho yang telah meminta Lee Hyora untuk menjadi yoejachingunya dan dia pulalah yang harus mengakhirinya. Jika tidak, maka ancaman ummanya untuk bunuh diri bisa jadi kenyataan.
“Minho-ah….?”
“Ne… Ahjjuma. Aku yang akan menyelesaikan masalah ini semuanya.” Ujar minho.
“Baiklah kalo begitu aku akan panggilkan Hyora. Tapi minho-ah, ahjjuma minta tolong kamu harus bisa mengendalikan perasaanmu dan usahakan kata-katamu jangan sampai melukai Hyora.” Pinta Lee Ahjjuma sebelum meninggalkan Minho sendirian.
Minho kembali bergelut dengan pikirannya, memikirkan kata-kata yang harus disampaikan pada Hyora. Dan tentunya tanpa harus menyakiti hati Hyora. Namun yang pasti, setiap kata yang terlontar akan menyakiti hatinya sendiri, karena hatinya masih menginginkan Hyora.
Beberapa saat kemudian Hyora datang dengan menggenggam sebuah foto di tangannya. Dia memakai gaun putih dengan rambut yang dibiarkan terurai, sungguh cantik. Secara tampilan fisik dia terlihat seperti tidak mengidap suatu penyakit apapun.
“Minho Oppa…,” kata Hyora membuyarkan pikiran Minho.
Minho begitu tertegun melihat sosok Hyora yang terlihat begitu cantik. “Apakah aku sanggup mengatakan hal itu pada orang yang masih aku sayangi?” Perasaan minho kembali pesimis. Namun ketika Minho teringat ucapan ummanya, keberaniannya kembali menguat.
“Duduklah dulu! Ada yang ingin aku bicarakan dengannmu.”
Kemudia Hyora duduk di samping Minho. Terasa atmosfir yang begitu canggung antara keduanya. Minho terus berusaha mengumpulkan kekuatannya.
“Aku ingin hubungan kita sampai disini. Aku ingin kita putus.” Ujar Minho langsung pada tujuannya dengan menundukkan kepala, tidak berani untuk menatap wajah Hyora.
Mendengar hal tersebut Hyora terlihat terkejut, namun tak lama kemudian dia telah berhasil menguasai perasaannya. Tidak ada air mata yang menetes.
“Waeyo Oppa? Apakah aku dulu pernah berselingkuh?”
Minho menggeleng.
“Apakah karena oppa tidak lagi mencintaiku?”
Minho kembali menggeleng.
“Apakah karena penyakitku?”
Kini Minho hanya tertunduk diam. Hatinya terasa sangat sakit mendengar pertanyaan Hyora.
“Ne… Oppa. Karena penyakitku ini semua kenangan yang pernah kita lalui bersama hilang tak tersisa. Bahkan kapan dan dimana kita jadian aku sudah tidak ingat. Namun setiap memandang wajah Oppa di foto ini, hatiku lah yang berbicara. Hatiku yang memberitahukanku bahwa Oppa adalah orang yang aku cintai. Namun kini penyakit ini pula yang akan merebut oppa dariku.” Kini butiran air hangat jatuh dari kedua ujung pelupuk mata Hyora.
Minho Semakin dalam tertunduk. “Mianhe Hyora,” bisik Minho dalam hati.
Kemudian Minho mengambil foto yang berada di genggaman Lee Hyora dan merobeknya menjadi dua bagian. “Mulai saat ini kamu tidak lagi butuh ini, karena kamu tidak harus mengingatku lagi kan.” Ujar Minho, dan membuang potongan foto itu ke lantai.
Hyora kaget melihat apa yang dilakukan oleh Minho, tapi dia terlambat untuk mencegahnya. Kini foto Choi Minho itu telah menjadi dua bagian dan tergeletak di lantai. Tapi kemudian Hyora memungutnya kembali.
“Oppa…, kenapa oppa merobeknya? Foto ini sangat berhaga bagiku. Karena foto inilah yang memberiku semangat untuk terus hidup.” Lee Hyora menangkupkan potongan foto itu ke dadanya. Air matanya semakin deras mengalir.
Minho semakin merasa bersalah, hatinya semakin sakit. Dia merobek foto itu supaya Hyora cepat melupakannya, namun ia salah.
“Hyora…mian..”
Sebelum minho sempat mengucapkan permintaan maafnya, Hyora melanjutkan ucapannya.
“Aku ikhlas kalo hubungan kita putus. Aku juga ikhlas kalo Oppa tidak lagi mencintaiku. Tapi…, jangan paksa aku untuk menghilangkan perasaan cinta yang ada di hatiku untuk Oppa. Karena hanya cinta itulah satu-satunya yang aku miliki sekarang dan satu-satunya alasan yang membuatku bertahan untuk terus hidup.”
Hati Minho kembali terennyuh seperti di hantam batu godam secara mutlak. Tak terasa air matanya deras mengalir tanpa mampu ia tahan. Lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan sesuatu meskipun hanya untuk mengatakan “mianhe”. Kemudian kembali tercipta keheningan yang terasa sangat aneh diantara mereka berdua.
Tanpa disadari mereka, Lee Ahjjuma mendengarkan pembicaraan mereka dengan perasaan hancur. Air matanya tak henti-hentinya terus mengalir. Namun ada semacam rasa bangga pada anaknya, Lee Hyora, karena ketabahan hatinya dan kedewasannya dalam memahami suatu masalah.
***
Minho POV
Ketika memasuki kamarku, aku langsung membantingkan tubuhku di atas kasur. Rasanya tubuhku seperti membawa beban berton-ton, entahlah. Beberapa hari belakangan ini semangat ku untuk menjalani hidup ini rasanya nol persen. Apa lagi setelah aku memutuskan hubunganku dengan Hyora.
“Lee Hyora, bagaimana kabarmu hari ini?” tanyaku pada foto yang berada di meja kecil disebelah tempat tidurku. Kemudian foto itu aku ambil dan membekapkannya di dadaku. Rasa cinta ini rasanya semakin hari bukannya semakin memudar malah semakin tak bisa aku tahan. “Hyora, aku ingin bertemu dengan mu meskipun hanya sebentar.”
Tapi enggak mungkin aku bertemu dengan Lee Hyora, apa lagi setelah aku memutuskannya. Selain itu, jika hal itu ketahuan umma masalahnya akan semakin rumit. Aku mencintai keduanya baik umma maupun Hyora, tapi aku terpaksa, lebih tepatnya dipaksa, untuk memilih satu diantara mereka.
Umma adalah wanita yang sangat aku sayangi. Aku enggak ingin menyakiti hatinya, karena selama ini dialah yang membesarkanku seorang diri setelah kematian appa. Dia telah banyak mengorbankan kebahagiannya untuk membesarkanku, jadi saatnyalah aku membahagiakannya meskipun harus mengorbankan kebahagianku. Aku rela.
Tapi, beberapa hari yang lalu aku telah berkata kasar padanya. Aku sangat menyesal. Membayangkan kejadian itu membuatku merasa bersalah.
Kemudian kejadian itu kembali terlintas di benakku seperti video yang diputar ulang.
Saat itu aku baru pulang dari rumah Hyora, setelah menemaninya seharian. Badanku basah kuyup karena diluar hujan deras sedang mengguyur kota seoul. Aku membuka pintu dengan hati-hati, takut membangunkan umma.
Namun aku enggak nyangka ternyata umma sedang menungguku di ruang tamu. Aku lihat sepintas wajah umma lain dari hari biasanya, senyum yang selalu menempel diwajahnya saat itu hilang entah kemana.
“Selamat malam, tumben umma belum tidur.” Tanyaku dengan menyunggingkan seutas senyum.
Tapi reaksi umma tidak seperti biasanya. Senyumannya tak kunjung muncul. Umma menatapku seperti saat dulu aku sering membuatnya marah. Yah, aku bisa menyimpulkan bahwa umma sedang marah. Tapi ke siapa?
“Kamu baru pulang dari rumah Lee Hyora?” Umma mulai angkat bicara. Namun nada suaranya membuatku merinding.
“Iya… umma. Aku enggak kemana-mana lagi setelah dari rumah Hyora.”
“Apa kamu tidak bosan setiap hari harus menemaninya? Bahkan umma lihat kamu terlalu banyak mengorbankan waktumu untuk menjaga Lee Hyora.”
Aku tidak menjawab pertanyaan umma, karena aku yakin umma sudah pasti mengetahui jawabannya. Aku semakin enggak ngerti kemana arah pembicaraan umma. Pakaianku yang basah dan udara dingin membuatku tidak bisa berpikir secara jernih.
“Umma ingin kamu mengakhiri hubunganmu dengan Lee Hyora.” Umma melanjutkan ucapnnya.
Hatiku seperti terkena sambaran halilintar. Bahkan ekspresi umma masih dingin saat mengatakan kalimat itu. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Bukannya dulu umma yang paling senang saat aku memperkenalkan Lee Hyora padanya.
“Umma ngomong apas sih?”
“Umma ingin kamu mengakhiri hubungan dengan Lee hyora.” Umma mengulangi ucapannya masih dengan ekspresi dingin.
“Memutuskan hubungan dengan Hyora? Umma tahukan kalo aku sangat mencintainya. Nggak mungkin aku memutuskan hubungan dengan Hyora” nada suaraka mulai meninggi tanpa aku sadari.
“Karena umma sangat mengerti sebesar apa cintamu pada Lee Hyora, makanya umma ingin kamu mengakhiri hubungan kalian. Umma tidak tahan lagi melihat kamu berkorban terlalu banyak buat Lee Hyora. Ingat Minho-ah, kamu masih muda dan masa depanmu masih panjang.” Kata umma dengan nada suaranya meninggi.
“Tapi Umma…”
“Nggak ada tapi-tapi. Apa kamu mau mengorbankan masa depanmu demi gadis yang mengidap Alzeimer itu. Ingat itu Minho-ah!”
“Tapi umma, Hyora mengidap Alzeimer itu gara-gara aku. Gara-gara aku tidak menepati janji untuk menjemputnya dia mengalami kecelakaan.Dan membuatnya mengidap Alzeimer.” Ujarku. Tak terasa setetes air hangat mengalir di pipiku.
“Minho-ah, sampai kapan kamu akan terus-terusan merasa bersalah. Kecelakaan itu bukan gara-gara kamu.”
“Seandainya aku menepati janji untuk menjemputnya maka dia tidak akan mengalami kecelakaan itu.” Air mataku semakin derasa mengalir.
“Sudah cukup! Umma tidak mau mendengar alasan apapun lagi. Pokoknya kamu harus mengakhiri hubunganmu dengan Lee Hyora…”
“UMMA….!!!” Ujarku dengan penuh emosi sebelum umma sempat menyelesaikan ucapannya.
“Kamu pilih antara umma atau Lee Hyora. Jika kamu terus melangsungkan hubungan dengannya maka umma tidak akan ada lagi di dunia ini. Lebih baik umma mati.” Kata umma sebelum pergi meninggalkanku.
DEEEGGG…
Jantungku tiba-tiba terasa ingin berhenti berdetak mendengar kalimat terakhir yang umma katakan. Seluruh darahku terasa berhenti mengalir. Dada ku terasa sesak seketika. Udara dingin dan pakaian basah yang membalut tubuhku membuat dadaku semakin sesak.
***
TOK… TOK… TOK…
Tiba-tiba terdengar seseorang mengetok pintu kamarku dari luar, membuyarkan semua lamunanku. Aku kembali pada waktu yang seharusnya, terbaring di tempat tidur dengan membekap foto Lee Hyora.
“Minho-ah, kamu masih belum tidur? Ada yang ingin umma bicarakan denganmu.” Suara umma terdengar dari balik pintu.
“Ne umma, sebentar.” Jawabku.
Kemudian aku meletakkan kembali foto Lee Hyora pada tempatnya. Kulangkahkan kaki ku meskipun terasa sangat berat.
Setelah kubukakan pintu, umma masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Kemudian aku juga duduk di sebelahnya. Atmosfir di dalam kamarku tiba-tiba berubah, tidak seperti biasanya, penuh rasa canggung.
“Umma…,” ujarku. “Mianhe, karena Minho kemaren telah berkata kasar dan sempat membentak umma. Dan beberapa hari ini tidak pernah menyapa umma.” Aku merebahkan wajahku ke pangkuan umma.
“Umma juga minta maaf karena umma seharusnya tidak bersikap seperti itu.” Ujarnya penuh dengan rasa keibuan. Ini dia umma yang selama ini aku kenal.
“Ada yang ingin umma bicarakan denganmu.”
“Aku telah memutuskan hubungan ku dengan Lee Hyora.” Kataku pada umma, karena aku menduga itulah arah pembicaraan umma.
Tapi umma tidak menanggapi ucapanku. Wajah umma menunjukkan ekspresi yang tidak senang, membuatku sedikit bingung. Bukankah umma yang meminta aku putus dengan Hyora.
“Umma ingin membicarakan sesuatu dan umma berharap kamu bisa memikirkannya dengan kepala dingin dan penuh pertimbangan.”
Aku benar-benar semakin bingung.
“Mianhe…, umma telah banyak ikut campur untuk masa depanmu termasuk dalam urusan cinta kamu. Hal itu umma lakukan karena umma ingin kamu mendapatkan masa depan yang cerah dan tentunya kebahagiaan. Umma tidak ingin kamu mengalami nasib yang sama dengan umma. Umma juga minta maaf karena telah mengukur kebahagian cinta hanya berdasarkan fisik saja.”
Umma berhenti sejenak untuk menghirup udara segar. Aku semakin tidak sabar menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan umma.
“Umma tidak akan lagi melarang kamu untuk meraih kebahagiaanmu terutama dalam urusan cinta. Baik kamu mau melanjutkan hubunganmu dengan Lee Hyora maupun tidak. Namun ada dua hal yang umma minta padamu. Pertama, dengan siapapun kamu akan menjalin hubungan kamu harus bahagia. Jika kamu tidak bahagia maka umma tidak akan pernah ikhlas. Dan yang kedua, kamu harus menjaga yoeja yang kamu cintai dengan sepenuh hatimu. Jika kamu berani menyianyiakannya maka kamu akan berhadapan dengan umma.”
Mendengar ucapan umma, hatiku seperti disiram air dingin dari surga. Aku merasa sangat bahagia sampai-sampai aku tidak tahu harus mengatakan apa.
“Gumawo…umma.” ujarku. Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan.
Setelah mengatakan itu umma pamit dan memintaku untuk memikirkannya baik-baik. Hatiku benar-benar bahagia, dan bayangan wajah Lee Hyora kembali memenuhi kepalaku.
Kemudian aku kembali dalam kesendirian, memikirkan semua yang telah umma ucapkan. Haruskah aku meminta hyora untuk menjadi yoejachinguku lagi. Bukankah dia telah mengikhlaskan putusnya hubungan kita. Apakah benar yang aku rasakan ini perasaan cinta, rasa iba ataukah hanya rasa bersalah pada Hyora. Entahlah, perkataan umma benar-benar membuatku bisa berpikir dengan logika.
Aku semakin bingung, apakah aku akan menjalin hubungan lagi dengan Hyora sebagai yoejachinguku ataukan sebatas hubungan biasa saja. Tiba-tiba rasa letih tubuhku membuatku terlelap dengan membawa keputusan yang tak pasti.
***
Lee Hyora POV
Seperti biasa, setiap sore aku banyak menghabiskan waktu di balkon rumah dengan menikmati suasana sore yang sangat indah. Hari ini langit sore bagitu cerah, tak ada setitik awan pun di langit. Membuat sinar mata hari sore berwarna jingga sempurna.
Di saat seperti ini biasanya hayalanku berjalan kemana-mana. Misalnya menghayal untuk menghabiskan waktu sore seperti ini dengan Minho Oppa, pasti sangat menyenangkan. “Apakah aku pernah menikmati indahnya sore seperti ini dengan minho Oppa ya?” bisikku dalam hati. Membayangkannya saja sudah membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Ahjjuma…, izinkan aku untuk bertemu dengan Hyora!”
Tiba-tiba aku mendengar seseorang meminta ummaku untuk mengizinkannya bertemu denganku. Aku tidak begitu ingat dengan suara itu tapi ditelingaku suara itu juga tidak terasa asing. Namun aku tidak mau kehilangan suasana sore seperti ini, jadi aku tidak menghiraukannya.
“Hyora…,” tiba-tiba seseorang memanggil namaku dan merusak kesenanganku.
Aku menoleh ke arah datangnya suara, dan aku melihat seorang namja berdiri dengan ekspresi wajah yang sulit aku ungkapkan. Dia terlihat seperti habis berlari karena nafasnya yang ngos-ngosan dan terputus-putus.
Wajahnya tidak asing lagi, namun aku masih belum bisa mengenalinya dengan baik. Namun sebuah memori tiba-tiba muncul dalam otakku tanpa aku sadari.
“Minho Oppa…,” Kata ku. Wajah namja itu adalah wajah minho Oppa, wajah yang selalu aku lihat setiap pagi melalui foto yang telah robek.
“Hyora…, Mianhe.” Tiba-tiba oppa memelukku dengan erat.
Aku tidak terlalu mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi. Namun yang aku rasakan oppa meneteskan air mata di pundakku.
“Oppa… ada apa? Apa yang telah terjadi?” tanyaku.
“Mianhe Hyora… Minahe karena telah membuat Hyora menangis. Mianhe karena telah membuat Hyora bersedih. Mianhe kerena telah… ”
Oppa tidak kuasa melanjutkan ucapannya, air matanya telah menghalanginya. Kemudian oppa mengatur nafanya kembali. Hembusan nafasnya sempat aku rasakan mengalir di leherku.
“Hyora… aku tak perduli meskipun kamu akan melupakan semua kenangan indah kita, karena aku yang akan selalu menceritakannya untukmu. i can’t live without you. Saranghe Lee Hyora…,” suara Oppa terdengar begitu lembut di telingaku.
“Saranghe Oppa….,” Balasku.
Oppa semakin mengeratkan pelukannya seperti tak akan membiarkanku untuk lepas dari hidupnya. Aku sangat bahagia sekali. Aku sempat melihat umma dari balik punggung oppa berdiri mematung di balik pintu dengan meneteskan airmata. Aku yakin air mata itu bukan airmata kesedian melainkan air mata kebahagiaan.
Terimakasih tuhan karena Kamu telah memberiku sore yang sangat indah…. Terimakasih untuk kenangan ini yang tak mungkin aku ingat esok hari.
End
NB: Buat yang telah baca FF ini, Author minta tolong dengan mengiba-ngiba untuk mengucapkan selamat ulang tahun buat Fai a.k.a Seung Minra.